Rabu, 20 Oktober 2021

  PELAKSANAAN PERDANA UJI KOMPETENSI FUNGSIONAL KESEHATAN 
DI DINAS KABUPATEN SAROLANGUN PROVINSI JAMBI
SELASA , 22 JUNI TAHUN 2021

Berdasarkan Surat Rekomendasi BPPSDMK Kementerian Kesehatan RI Nomor DM.03.02/2507/2021 tanggal 31 Mei 2021 tentang Penyelenggaraan Uji Kompetensi Kesehatan Jenjang Jabatan Fungsional Kesehatan Tahun 2021.

Sehubungan dengan hal tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun mengadakan Ujian Kompetensi Fungsional Kesehatan pada tahun 2021 berjumlah 24 tenaga fungsional kesehatan terdiri dari Perawat Ahli 1 (4%) o, Perawat Terampil  sebanyak 18 (75%)  dan Perawat Gigi sebanyak 5 (20,8% ) .

Bagian Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun Provisi Jambi mengharapkan penyelenggaraan Uji Kompetensi Fungsional Kesehatan  Tahun 2022  lebih sukses lagi dari tahun ini, Amin. ( Musa, SKM., MPH , Koordinator UKOM Dinas Kesehatan Kab. Sarolangun 2021)

Rujukan : Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan                                  Uji Kompetensi Jabatan Fungsional Kesehatan.




  

Minggu, 20 Maret 2016

Program Kesehatan Orang Rimba


“Uiihh, beik nian betino tu,”ucap Ngelempu Orang Rimba Bukit Dua Belas ketika melihat pelayan perempuan rumah makan, dalam suatu perjalanannya kembali ke Bukit Dua Belas setelah kunjungannya ke Jambi. Ngelempu langsung tersenyum mengucapkan kata itu, tampak dia sangat malu meski mengagumi perempuan di depannya. Dia akan semakin tertawa jika di goda. Ketika tertawa akan memperlihatkan gigi depannya yang sudah mulai rusak dan mulai ompong. Padahal kalau dilihat umur Ngelempu belum terlalu tua untuk kehilangan gigi, usianya sekitar 23 tahun.
Begitulah orang rimba, hampir semua orang jika sudah memasuki usia 20-an giginya akan terlihat rusak. Banyak faktor yang menyebabkan gigi Orang Rimba rusak. Diantaranya adalah kebiasaan merokok yang dimulai dari usia yang sangat muda, sekitar 8 tahun. Rokok atau yang bahasa rimba disebut udut sebagai perlambang kedewasaan. Ketika anak beranjak dewasa dibuktikan dengan kemampuannya menghasilkan uang sendiri, yang sebagian digunakan untuk membeli rokok di desa terdekat. Bagi anak yang meminta rokok kepada orang tuanya, jangan harap akan mendapatkannya, karena orang tua akan marah kalau anaknya minta rokok, tetapi kalau dia mendapatkannya sendiri orang tuanya tidak masalah.
Bagi Orang Rimba rokok adalah symbol kehidupan dan sebagai tanda pergaulan. Bagi anak muda yang sudah merokok, juga menandakan mereka bukan lagi budak (anak-anak), sehingga hukum adat rimba sudah bisa dikenakan kepada mereka jika terjadi pelanggaran adat. Maka jangan heran jika kemana pergi rokok atau tembakau lengkap dengan papir (kertas pembungkus tembakau) selalu terselip di cawot (kain penutup kemaluan) mereka. Kebiasaan ini tak hanya berlaku bagi kaum pria, wanita rimbapun punya kebiasaan merokok yang sulit dihilangkan. Bahkan mereka rela mati saja dari pada tidak merokok.” Ngudut mati, hopi ngudut mati. (merokok akan mati, tidak merokok pun akan mati juga). Anggapan itu terbenam kuat di otak orang rimba sehingga menjadi sangat sulit untuk merubah kebiasaan ini dari kehidupan Orang Rimba. Kebiasaan merokok orang rimba yang sangat parah ini menyebabkan mereka sangat rawan terkena infeksi pernafasan. Bahkan mulai tahun 2005 diantara sudah terindikasi ada penderita tubercolosis (tb paru) pada Orang Rimba.
Tak hanya kebiasaan merokok orang rimba yang sangat parah, soal higyenis makanan dan pola hidup juga sangat mempengaruhi kesehatan Orang Rimba. Kebiasaan mereka mengkonsumsi manakan panas, kadang kondisinya sudah mulai busuk juga berpengaruh terdapap kesehatan mereka. Apalagi orang rimba tidur diatas tanah atau rerumputan, disengat berbagai hewan dan jarang mandi kalaupun mandi tidak menggunakan sabut. Faktor-faktor ini juga menyebabkan mereka sangat rentan terhadap berbagai penyakit kulit. Ketika musim buah biasanya juga menjadi musim penyakit orang rimba mulai diare, sakit perut hingga lama kelamaan menjadi diare berdarah, ketika mereka mengkonsumsi buah dalam jumlah banyak dan terus menerus. Belum lagi malaria yang memang hutan Jambi sangat terkenal dengan wilayah endemic malaria. Namun bagi Orang Rimba, penyakit disebabkan karena gangguan setan, seringnya melakukan perjalanan dan kontak dengan orang dusun (orang terang), dan juga bisa disebabkan karena terlalu banyak memakan buah-buahan, misalnya pada musim buah atau musim petahunan godong yang terjadi antara 2 – 3 tahun sekali, pada saat itu buah dan madu hutan berlimpah, akibatnya adalah pola konsumsi buah yang berlebihan asam-manis menyebabkan mereka terkena batuk ataupun demam serta diare.
Penyakit yang sering diderita Orang Rimba pada umumnya adalah infeksi saluran pernafasan, infeksi kulit, infeksi saluran pencernaan,cacingan , malaria dan sakit gigi. Ketika fasilitator kesehatan KKI Warsi mengunjungi Orang Rimba keluhan utama mereka adalah sakit gigi (pulot), sakit perut (bocor), demam (domom) dan batuk (betuk). Sakit ini sangat umum terjadi di Orang Rimba. Kalau tidak ada fasilitator kesehatan yang berkunjung mereka menggunakan obat-obat ramuan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan hutan. Untuk mengobati deman orang rimba menggunakan umbut Tebu Pungguk/pacing (Costus speciosus (Koenig) Smith). Umbut tebu diremas-remas hingga keluar airnya dan diminumkan ke si sakit. Sedangkan untuk obat diare berdarah mereka meminum air rebusan daun Akar Kesobo (Rourea minor (Gaertn) Leenth). Untuk Obat malaria selain meminum rebusan empedu tanah mereka juga kerap menggunakan rebusan batang tumbuhan perdu yang diberi mana Akar Korem (Derris sp). Untuk sakit kuning mereka meminum air rebusan akar dan batang Akar Kunyit (Arcangelisia flava (L) Merr). Kalau deman mereka memandikan si deman dengan air irisan daun Akar Setolu/sebenang (Pericamphyllus glaucus(Lmk) Merr). Untuk mengobati batuk berdahak mereka meminum rebusan akar dan batang tumbuhan akar temperinggil. Orang Rimba, menggunakan tumbuhan disekitar mereka untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Jika ramuan-ramuan tak lagi menyembuhkan, maka penyembuhan dilakukan secara magik. Dengan bantuan dukun-dukun orang rimba mereka melakukan dedekiron (berzikir) memohon penyembuhan kepada dewa-dewa. Jika terlalu lama sakit dan tidak kunjung sembuh orang rimba berkeyakinan kalau ada roh jahat yang mengganggu sehingga mereka meminta kepada dewa untuk mengusir roh jahat. Doa dipanjatkan dalam bahasa rimba yang sulit di mengerti. Berdedekiron hanya boleh dihadiri oleh Orang Rimba, tidak diperbolehkan ada orang terang (Sebutan orang rimba untuk komunitas diluar mereka). Mereka meyakini jika berdedekiron dihadiri orang terang maka dewa penyembuhnya tidak mau datang. Biasanya berdedekiron dilakukan beberapa malam, hingga yang sakit sembuh. Semakin malam dedekironnya akan semakin kencang kadang kedengarannya seperti lagu kepiluan dan bisa membuat merinding bagi yang mendengarnya.

Cenenggo dan Sesandingon (Sakit dan mengasingkan diri)
Dalam istilah rimba ketika ada anggota yang sakit akan ada istilah cenenggo dan sesandingon. Cenenggo atau ber-cenenggo, lebih ditujukan kepada satu orang yang sedang mengidap penyakit, dan untuk lebih luasnya lagi yang ditujukan kepada sebuah kelompok orang rimba yang tinggal dalam satu areal secara bersamaan terkena penyakit, maka istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan kondisi mereka yang sakit disebut dengan “di tompu gelabah”,( semua orang dalam kelompok diserang penyakit) atau wabah baik itu batuk terus menerus (TBC), demam, flu, diare, malaria dan sebagainya. Penyakit-penyakit ini dalam kehidupan orang rimba begitu ditakuti karena dapat menyebabkan kematian. oleh sebab itu untuk mengatasinya mereka selalu berhati-hati melakukan kontak dengan siapa saja, baik dengan orang terang maupun dengan orang rimba yang berasal dari kelompok lain ataupun yang baru melakukan kontak dengan orang dusun.
Selama bercinenggo si sakit akan dibatasi ruang geraknya, supaya tidak menulari anggota kelompoknya yang lain. Orang rimba yang terkena penyakit karena kontak atau diyakini tertular dari orang terang, sangat dilarang masuk ke dalam kelompoknya. Lain halnya bila penyakit di dapat pada saat berada di dalam kelompoknya, maka orang bercinenggo tersebut bebas melakukan aktifitas kesehariannya, hanya saja ia tidak boleh mengunjungi orang rimba di kelompok lainnya sesuai dengan seloka yang mereka anut ‘Tepian bori bebeso, rumahnye bori beradat’, (jaga sopan santun (adat) di rumah ataupun lingkungan orang lain, jangan sampai orang yang dikunjungi marah dan akhirnya menuntut kita, karena kedatangan kita yang dapat menyebabkannya celaka baik terkena penyakit atau musibah kematian). Seloka ini begitu besar maknanya bagi pengaturan pola tingkah laku orang rimba. Kebesaran maknanya melahirkan prilaku orang rimba untuk selalu mengkabarkan kondisinya, apakah ia sehat (bungaron) atau sakit (bercinenggo), agar tidak dianggap melanggar adat (sumbang adat).
Kepada orang rimba yang tengah ber-ceneggo, maka dia akan dipindahkan dengan radius sekitar 500 meter dari anggota kelompok lain. Untuk berkomunikasi dengan yang berceneggo dilakukan dengan jarak jauh yaitu sekitar 10 meter. Mereka akan saling meneriakan maksudnya jika berkomunikasi dengan yang tengah berceneggo. Untuk menghindari penularan orang rimba yang sehat tidak akan melalui jalan yang pernah di lalui orang yang sakit. Jika jalannya hanya satu mereka akan membuat jalan baru menembus semak-belukar dan hutan. Prilaku seperti ini disebabkan adanya pandangan bahwa jalan-jalan yang dilintasi orang rimba yang bercinenggo tersebut sudah dihinggapi oleh penyakitnya sehingga dapat menular kepada orang yang melintas di atas jalan tersebut. Jalan akan dianggap steril dan dapat dilintasi kembali setelah adanya hujan karena penyakit-penyakit tadi telah hanyut terbawa air ke hilir, atau paling lambat adalah 5 hari setelah di lintasi orang yang bercinenggo .
Kepada Orang Rimba yang tengah berceneggo, anggota kelompok yang lain wajib memberikan bantuan baik makanan maupun pengobatan. Aturan ini tertanam dalam sloko adat mereka ‘sakit poning gabat tingko jengon bemensa bemensi’ (menjaga rasa kekeluargaan saling menolong yang sakit dan kesusahan untuk menghindari perpecahan bukan untuk saling rebut). Makanya ketika sakit orang rimba harus member tahu tumenggungnya perihal kondisinya. Tumenggunglah yang memutuskan dia berceneggo atau tidak. Jika tidak member tahukan tentang kondisinya yang sakit dianggap telah melanggar adat, dan jika menulari orang lain ia akan dihukum denda dengan membayar 2 helai kain panjang. Jika yang ditulari meninggal maka di denda sebanyak 500 helai kain panjang atau yang disebut dengan istilah bayar bangun.
Ketatnya aturan adat yang di miliki orang rimba secara tidak tertulis itu, ternyata membuat orang rimba merasa takut untuk melanggarnya. ketidak mampuan membayar bangun dengan sejumlah kain yang di tetapkan adat bisa dilakukan dengan cara menggantikan peranan si mati kepada keluarga yang ditinggalkan. Kalau yang mati tersebut adalah seorang laki-laki maka ia harus mencari ganti dari pihak keluarganya yang juga harus laki-laki, atau bila sumber penularannya berasal dari seorang laki-laki maka dirinya sendiri yang menggantikan peran si mati di dalam keluarganya. Kalau tidak sanggup juga melakukan ini, maka si penular penyakit harus membayar dengan nyawanya sendiri atau di usir dari kelompoknya.
Sebagai antisipasi dari penyelamatan diri dari hukum adat dan untuk menegakkan aturan adat, maka yang dilakukan bagi orang yang mengidap penyakit harus mengasingkan diri jauh dari kelompoknya. Pengasingan atau pemisahan diri karena faktor mengidap penyakit dalam lingkungan orang rimba disebut dengan istilah bersesandingon, atau dalam bahasa kita lebih dikenal dengan peng-karantina-an.
Besesandingon, dilakukan jauh dari kelompoknya. sedekat-dekatnya dalam jarak orang rimba sejauh suara di pantulkan, atau dalam perkiraan saya sejauh + 500 meter dari pemukiman kelompok orang rimba. Tempat bersesandingon harus berada jauh di dalam hutan diwilayah yang tidak pernah dilalui oleh orang rimba. Selama melakukan bersesandingon orang rimba yang bercinenggo membuat rumahnya dan mencari makannya sendiri di dalam hutan. Pertemuan dengan individu kelompok masih boleh dilakukan dengan mengatur jarak dari masing-masing individu, tetapi sangat dilarang untuk masuk kedalam kawasan pemukiman kelompok.
Selama bersesandingon tentunya tidak selalu mendapatkan makanan atau binatang buruan, ia boleh saja meminta kepada kelompoknya untuk diantarkan ke suatu tempat dan ia akan menjemputnya. begitu sebaliknya orang yang bercinenggo boleh saja memberikan binatang hasil buruannya kepada kelompoknya.
Pemberian binatang hasil buruan seperti babi, rusa oleh orang yang bercinenggo kepada orang yang sehat (bungaron), memiliki mekanisme tersendiri. Selain diletakkan tempat tertentu yang dijanjikan, binatang buruan yang bersumber dari orang yang bercinenggo juga dipandang telah tertulari penyakit. maka daging pemberiannya diperlakukan khusus, daging binatang buruan direndam di air sungai selama semalam diyakini akan menghangutkan penyakit-penyakit dari dalam daging binatang tersebut, sehingga aman untuk di makan.
Pengobatan modern untuk Orang Rimba
Ditengah pola hidup dan konsumsi Orang Rimba yang kurang baik dan pengobatan yang masih tradisional ada kalanya penyakit sulit hilang dari Orang Rimba. Mungkin ini juga yang menyebabkan populasi Orang Rimba cendrung stabil dari waktu ke waktu. Untuk ini tentu dibutuhkan pengobatan yang lebih jauh memadai untuk kasus-kasus tertentu yang tidak bisa ditangani di rimba seperti tb paru dan penyakit kronis lainnya.
Untuk itulah sejak mendampingi komunitas Orang Rimba dari 10 tahun silam KKI Warsi menempatkan fasilitator kesehatan yang akan membantu orang rimba untuk pengobatan dan juga menghubungkannya dengan fasilitas kesehatan publik seperti puskesmas dan rumah sakit. Awalnya pengenalan pengobatan modren bukanlah perkara gampang untuk Orang Rimba. Dengan keyakinan terhadap kekuatan dewa-dewa untuk menyembuhkan segala penyakit, Orang Rimba sangat sulit untuk diajak berobat ke puskesmas apalagi rumah sakit. Butuh waktu yang cuku panjang untuk mengenalkan mereka dengan pengobatan diluar tradisi mereka.
Fasilitator kesehatan KKI Warsi setiap bulan rutin mengunjungi kelompok-kelompok orang rimba. Untuk penyakit yang terindikasi ringat, fasilitator kesehatan akan membantu pengobatan mereka. Jika terindikasi penyakitnya kronis akan diupayakan untuk segera di bawa ke rumah sakit. Untuk mengakses fasilitas kesehatan publik ini juga bukan perkara mudah. Untuk mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas atau rumah sakit, awalnya Orang Rimba mengalami kesulitan. Meski mereka warga negara Indonesia, namun mereka tidak tercatat sebagai warga negara di wilayah administratif manapun. Tak ada KTP ataupun KK yang biasa digunakan untuk mengurus surat keterangan miskin. Ini juga menjadi rangkaian tugas fasilitator kesehatan untuk bisa meyakinkan para pihak bahwa Orang Rimba meski tanpa KTP mereka adalah keluarga miskin yang layak mendapat pelayanan gratis di rumah sakit atau puskesmas.
Perjuangan untuk bisa mendapatkan pengobatan gratis ini, sejak tahun 007 lalu, KKI Warsi telah menandatangani MoU dengan Pemerintah Kabupaten Sarolangun. Intinya ada kerjasama untuk peningkatan kesejahteraan Orang Rimba. Salah satunya diwujudkan dalam bentuk pemberian kartu berobat gratis (jaminan kesehatan masyarakat) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun. Hingga 2008 sudah ada 472 Jamkesmas yang diberikan kepada Orang Rimba dengan kartu ini Orang Rimba bisa berobat gratis di pusmesmas atau rumah sakit.
Meski belum semua Orang Rimba memegang kartui Jamkesmas, akan tetapi semua data Orang Rimba telah dimasukkan ke Dinas kesehatan. Dengan data ini, meski tak memegang kartu Jamkesmas orang rimba tetap bisa berobat gratis di puskesmas atau rumah sakit. Untuk Orang Rimba yang berada di Merangin, Warsi juga telah mendorong Puskesmas Pemenang (puskesmas yang paling dekat dengan Orang Rimba yang hidup di daerah Pemenang Kabupaten Merangin Jambi) untuk memberikan pengobatan gratis bagi Orang Rimba.
Saat ini, kasus tb paru sudah merebak dikalangan Orang Rimba, hampir disemua kelompok ada anggota kelompok yang terindikasi tb paru. Untuk itu selain mengupayakan pengobatan mereka keluar rimba, harapannya pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan bisa mengambil peran dengan turun langsung ke rimba untuk melakukan pemeriksaan terhadap Orang Rimba. Bagi yang memang positif menderita tb harapannya bisa langsung ditangani melalui puskesmas terdekat.
Dari fasilitasi kesehatan yang dilakukan Warsi, sejak 2010 telah ada beberapa kebijakan yang diberikan pemerintah daerah seperti Sarolangun, Bungo dan Merangin tentang jaminan kesehatan yang diberikan ke Orang Rimba. Kebijakan ini boleh dikatakan merupakan hasil dari komunikasi intensif yang dilakukan oleh Warsi ke instansi pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan kabupaten dan juga pusat layanan kesehatan baik di Puskesmas maupun rumah sakit. Ketiga kabupaten tersebut terdapat keputusan kepala daerah yang menerangkan bahwa setiap Orang Rimba yang membutuhkan perawatan rawat inap di puskesmas perawatan maupun rumah sakit daerah tidak dikenakan biaya sedikitpun. Meskipun untuk ke tingkat rujukan lanjutan di provinsi mereka harus mendapatkan surat keterangan dan jaminan dari instansi pemerintah tertentu.
Dalam pendampingan yang dilakukan Warsi, terdapat banyak kasus kesehatan Orang Rimba yang membutuhkan rujukan perawatan ke tingkat provinsi. Karena belum adanya kebijakan di tingkat provinsi tentang jaminan kesehatan ini terdapat beberapa kasus tidak diberikan layanan kesehatan ketika tidak menunjukkan jaminan dari instansi tertentu atau dapat dilayani apabila bersedia mengganti biaya perawatan. Untuk ini Warsi masih terus melakukan advokasi supaya Provinsi Jambi khususnya Dinas Kesehatan juga membuat kebijakan khusus terkait dengan penanganan Orang Rimba.
BJPS dan Orang Rimba
Setelah adanya kerjasama dan advokasi yang cukup baik untuk pelayanan kesehatan Orang Rimba, ke depan akan muncul lagi persoalan yang pelik terkait Orang Rimba. Hal ini disebabkan adanya kebijakan baru pemerintah pusat terkait pelayanan kesehatan yaitu adanya UU No 40 Tahun 2004 tentang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diperkuat dengan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS), Pemerintah menjamin kesehatan setiap warga negara. BPJS dalam praktiknya dibagi menjadi jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan. Sampai disini, jelas kebijakan ini terlihat menguntungkan bagi masyarakat miskin. Dan akan berjalan pada 1 Januari 2014 nanti.
Dalam UU BPJS tersebut semua orang yang akan dijaminkan dan mendapat jaminan adalah mereka yang membayar iuran (premi) yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah. Kelompok masyarakat yang selama ini mendapat jaminan dari instansi tertentu atau non peserta Jamkesmas dan Jamkesda harus di dafarkan oleh pemerintah dan pembiayaanya juga akan di berikan oleh pemeritah.
Lantas Bagaimana dengan nasib Orang Rimba dalam jaminan ini? Orang Rimba jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin termasuk dalam kelompok masyarakat miskin yang wajib ditangani oleh pememrintah. Jika pelaksanaan Jaminan kesehatan nasional ini persyaratan pesertanya merujuk ke UU ini, akan ditemukan banyak kerumitan dalam pemberian jaminan kesehatan bagi Orang Rimba.
Orang Rimba meski termasuk dalam kelompok masyarakat miskin, dalam program Jamkesda yang sudah digulirkan oleh pemerintah daerah, tidak semuanya tercover oleh jaminan ini. Selama ini hanya beberapa ratus Orang Rimba saja yang tercover jaminan kesehatan daerah ini, dari lebih dari 3.500 jiwa orang rimba di Provinsi Jambi. Orang Rimba yang diakomodir dalam Jamkesda ini, sebagian besar tidak memiliki kartu, akan tetapi berdasarkan kompromi Warsi dengan Dinas Kasehatan Kabupaten Setempat, bahwa semua Orang Rimba bisa dilayani.
Nampaknya Warsi masih harus bekerja keras lagi untuk advokasi yang lebih baik, guna dapatnya Orang Rimba mengakses pelayanan kesehatan di masa yang akan datang, seiring dengan pemberlakuan BPJS.***

14.601 JIWA WARGA PROVINSI JAMBI TERSERANG ISPA

[JAMBI] Sedikitnya 14.601 jiwa warga Provinsi Jambi terserang penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) akibat bencana asap kebakaran hutan dan lahan yang melanda daerah itu sejak Juni – Agustus 2015. Sebagian besar korban penyakit ISPA tersebut anak-anak bayi lima tahun, anak sekolah dan lanjut usia.

Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P3L) Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, Kaswendi di Jambi, Selasa (25/8) menjelaskan, jumlah warga Jambi yang terserang ISPA tersebut cukup tinggi karena asap yang bercampur debu menyebabkan turunnya kualitas udara.
Kemudian warga di daerah itu juga banyak terkena ISPA karena melakukan aktivitas di luar rumah tanpa menggunakan masker ketika asap tebal menyelimuti wilayah mereka.

Menurut Kaswendi, penderita penyakit ISPA terbanyak di Provinsi Jambi terbanyak di Kota Jambi, yakni mencapai 3.910 orang. Tingginya penderita ISPA di Kota Jambi karena kota tersebut sudah hampir tiga bulan diselimuti asap kebakaran hutan dan lahan. Kemudian kualitas udara di kota tersebut juga terus menurun akibat asap dan debu kemarau.

Kaswendi menambahkan, jumlah warga yang menderita di Kabupaten Tanjungjabung Timur dan Muarojambi juga tinggi karena kedua kabupaten itu juga terus diselimuti asap tiga bulan terakhir. Penderita ISPA di Kabupaten Tanjungjabung Timur mencapai 2.390 orang dan di Muarojambi sekitar 1.690 orang.
Kabupaten lain di Jambi yang juga terkena penyakit ISPA, lanjut Kaswendi, yaitu Kabupaten Sarolangun dngan jumlah penderita ISPA sekitar 1.642 orang. Penderita ISPA di Kabupaten Muarabungo sekitar 1.086 orang, Sungaipenuh (1.010 orang), Kerinci (874 orang), Tanjungjabung Barat (828 orang), Batanghari (635 orang) dan Tebo (556 orang).

Dijelaskan, Dinas Kesehatan Provinsi Jambi sudah menyiapkan sekitar 40.000 masker untuk mengendalikan penyakit ISPA di daerah itu. Ribuan masker tersebut sudah dibagikan di Kota Jambi dan Tanjungjabung Barat. Pembagian masker di seluruh kabupaten dan kota yang dilanda bencana asap akan dilakukan jika kondisi udara dinyatakan berbahaya.

“Saat ini indeks standar pencemaran udara (ISPU) tertinggi di Kota Jambi baru mencapai 57 partikel per millimeter (PPM), masih dalam kategori sedang. Bila ISPU mencapai 100 ppm yang berarti udara berbahaya, maka pembagian masker secara missal akan dilakukan,”katanya.

Sementara itu Kepala Badan Penanggulangan Bencana Danerah (BPBD) Provinsi Jambi, Arief Munandar mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di Jambi masih terus terjadi hingga Selasa (25/8). Kebakaran hutan dan lahan tersebt terdapat di Kabupaten Muarojambi, Sarolangun dan beberapa wilayah lainnya. Akibat kebakaran hutan dan lahan tersebut, wilayah Kota Jambi dan beberapa kabupaten di Jambi pun masih diselimutiasap hingga Selasa (25/8). [141/L-8]

MENINGKATNYA KESAKITAN ISPA DI KABUPATEN SAROLANGUN

SAROLANGUN–Kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan gambut, di Sarolangun dan sekitarnya membuat ratusan jiwa menderita Inveksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Data dinas Kesehatan kabupaten Sarolangun mencatat pada minggu ke-33 jumlah penderita ISPA yang dirawat pada seluruh puskesmas yang ada sebayak 528 jiwa. Pada minggu ke 34 jumlah penderita ISPA meningkat menjadi 571 jiwa.

"Grafiknya (Kasus ISPA) terus meningkat . cukup besar, 10 hingga 15 persen" Kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun, Adnan, Kamis 10 September 2015.

Selain ISPA, katanya, Penderita diare juga mengalami peningkatan. Kuat dugaan peningkatan penderita diare disebabkan bencana kekeringan karna buruknya kualitas air. "Minggu terakhir, tercatat 16 kasus diare,"Katanya lagi.

Dua Jenis penyakit tersebut, memang menjadi langganan jika terjadi bencana asap dan kekeringan. Agar jumlah pemderita ISPA dan Diare tidak terus bertambah. Ia menghimbau agar masyarakat menguragi aktivitas di luar rumah.
"Kalau berpergian gunakan masker. Selain itu jaga kebersihan makanan dan lingkungan," Ujarnya.

















Ia juga menghimbau, jika dirasakan ada gejala ISPA serperti tenggorokan kering, napas mulai sesak agar dapat segera mendatangi Puskesmas terdekat. Begitu juga dengan Diare.(Sn1)

Kamis, 10 Maret 2016

Kawasan Terpadu Untuk SAD Segera Dibangun

Senin, 11 Januari 2016 | 08:54:04 WIB

SAD di Kecamatan AIr Hitam, Kabupaten Sarolangun.

SAROLANGUN - Pemkab Sarolangun akan membangun kawasan terpadu untuk Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba lengkap dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Bupati Sarolangun H Cek Endra mengatakan derajat SAD harus diangkat, baik itu segi sosial kemasyarakatan maupun pendidikan. “2016 kita prioritaskan juga untuk pemperhatikan SAD,” ujarnya.

Dikatakan, untuk 2016 telah dianggarkan Rp 5,52 miliar dari APBD dan APBN untuk SAD. Dana sebesar itu, akan dibangun kawasan terpadu untuk SAD, seperti pendidikan, tempat tinggal, kesehatan, dan akses jalan.

“Untuk lokasinya, nanti akan kita persiapkan lahan di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Kecamatan Airhitam,” tambahnya.

Untuk pembangunan kawasan terpadu tersebut, Kementerian Sosial dan Kementerian Pekerjaan Umum juga siap membantu. “Mereka menunggu kesiapan kita saja,” ujarnya.
Cek Endra menjelaskan perlunya kawasan terpadu ini, karena melihat selama ini warga SAD tidak pernah mendapat bantuan kemiskinan dari program pemerintah. Seperti bantuan beras miskin (raskin) dan lainnya karena SAD tidak punya KTP. (*) Rian Muiz.

PRESIDEN JOKOWI KUNJUNGI SUKU ANAK DALAM

Bertemu Jokowi, Ini Curhat Suku Anak Dalam
Sabtu, 31 Oktober 2015 | 08:51 WIB

Bertemu Jokowi, Ini Curhat Suku Anak Dalam
Presiden Joko Widodo atau Jokowi berdialog dengan Suku Anak Dalam di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Jumat, 30 Oktober 2015. Dok. Tim Komunikasi Presiden

TEMPO.CO, Jambi - Warga suku Anak Dalam atau lebih dikenal dengan sebutan orang rimba yang bermukim di Taman Nasional Bukit Duabelas pada Jumat kemarin mendapat kunjungan Presiden Joko Widodo. Dalam kesempatan itu, warga marginal itu meminta Presiden membantu jaringan listrik.

"Saat berdialog dengan Presiden kemarin, kami meminta bantuan agar pemerintah membantu memasang jaringan listrik dan dibuat sumur di lokasi 15 unit rumah di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dibangun pemerintah untuk kami tinggal sejak 2004," kata ketua kelompok orang rimba, Temenggung Grip, kepada Tempo, Sabtu, 31 Oktober 2015.

Menurut Temenggung Grip, rumah-rumah milik suku Anak Dalam jarang sekali ditempati karena tidak ada sumur dan jauh dari sumber air bersih, apalagi penerangan. "Untuk apa kami tempati, sementara kami memang kebiasaan hidup selalu berpindah-pindah (nomaden)," ujarnya.

Selama ini, rumah-rumah tersebut hanya dijadikan sebagai tempat singgah orang rimba saat mereka keluar dari kawasan hutan untuk menjual hasil hutan, seperti rotan dan getah jernang.

"Jika dilengkapi fasilitas memadai, rumah-rumah itu bisa kami tempati, termasuk tempat mengungsi saat kabut asap seperti sekarang ini," tuturnya.

Presiden Jokowi ketika itu, kata dia, langsung memerintahkan para menteri terkait untuk memenuhi permintaan orang rimba. "Kami menunggu janji Presiden tersebut. Dalam kesempatan itu juga, Presiden memberi kami Kartu Indonesia Sehat untuk berobat gratis," kata Temenggung Grip.

Ketua Adat Suku Anak Dalam yang bermukim di daerah Kedudung Muda--masih dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas--Mangku Basemen mengaku dia dan warga lain sudah dua pekan ini keluar rimba karena asap pekat yang mengepung rimba.

"Akibat kabut asap ini, banyak warga kami yang mengalami gangguan kesehatan, seperti batuk, flu, dan gangguan pencernaan, terutama dialami para balita," ucap Mangku Basemen,

Pada hari yang sama, warga suku Anak Dalam yang telah dievakuasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi di rumah penampungan. Mereka sempat dikunjungi dan berdialog dengan Menteri Sosial Kofifah Indar Parawansa.

Diakui Mangku Basemen, Menteri Sosial telah berjanji akan membantu orang rimba untuk pemulihan kebun mereka yang terbakar dengan bantuan bibit karet dan tanaman hutan yang dibutuhkan. Sedangkan anak-anak akan dibantu mendapatkan pendidikan lebih lanjut dengan bantuan Kartu Indonesia Pintar.

Baik Presiden maupun Menteri Sosial, ujar Manager Komunikasi KKI Warsi Rudy Syaf, orang rimba wajib dibantu karena mereka juga merupakan warga negara Indonesia.

"Kami setuju saja jika pemerintah sudah memberikan perhatian serius terhadap mereka. Kami sudah mendampingi mereka sejak 2002, jadi tahu persis apa yang mereka inginkan," ucap Rudy Syaf.

Warga suku Anak Dalam yang tinggal dan menggantungkan hidup di dalam hutan Taman Nasional Bukit Duabelas sebanyak 1.700 jiwa. Mereka terpencar dan terbagi dalam beberapa kelompok.

SYAIPUL BAKHORI


PESERTA BPJS KESEHATAN KABUPATEN SAROLANGUN MENCAPAI 52,26%


SAROLANGUN(SR28) - Bupati Sarolangun Cek Endra, Selasa (22/07) kemarin menghadiri kegiatan penyerahan secara simbolis Kartu BPJS Kesehatan dan Program Jamkesda Samisake. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang Pola Kantor Bupati Sarolangun dengan dihadiri oleh unsur Forkompinda, Kepala BPJS Kesehatan Divisi Regional II Benjamin Saut, Kepala BPJS cabang Muara Bungo Niken Sawitri serta juga dihadiri sejumlah Kepala SKPD, camat, dan para kepala desa se-Kabupaten Sarolangun.

Dalam sambutannya Bupati mengatakan bahwa masyarakat miskin dan kurang mampu harus mendapatkan perhatian tersendiri dari pemerintah daerah.

“ Masyarakat miskin dan kurang mampu harus diperhatikan secara khusus. Penanganan kepada mereka menjadi tanggung jawab kita bersama,” ungkapnya.

Bupati juga meminta agar para kepala desa dan camat jangan baru mengetahui ada warganya yang miskin dan kurang mampu di saat mereka sakit.

“ Saya minta agar para camat dan kades memperhatikan masyarakatnya, terutama yang miskin dan kurang mampu. Jangan sampai saat mereka sakit, baru tahu. Kondisi seperti itu tidak boleh terjadi di Sarolangun,” ujarnya.

Dipaparkan oleh Bupati bahwa di Sarolangun masyarakat yang sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan mencapai 52,26 % dan menjadi Kantor pengelolaan BPJS terbaik se-Provinsi Jambi.

“ Sarolangun terpilih menjadi salah satu kabupaten yang dinilai sukses dalam mengelola program BPJS. Sebanyak 52,26% masyarakatnya sudah tercatat sebagai peserta BPJS,” katanya.

Sementara itu menurut Kepala BPJS Kesehatan Divisi Regional II Benjamin Saut, mengatakan bahwa untuk di Kabupaten Sarolangun, biaya kapitalisasi di seluruh Puskesmas di Kabupaten Sarolangun mulai Januari hingga Juli 2014 sudah tercatat total biaya hingga Rp.4.097.230.000, sementara tagihan biaya klaim di RSUD Sarolangun yang sudah dibayarkan mencapai Rp 7.008.952.567. Sementara data iuran wajib Pemda Sarolangun mencapai Rp 4.277.047.278. Selain itu juga fasilitas kesehatan di Sarolangun tercatat memiliki 29 fasilitas kesehatan.

“ Saya mengapresiasi Pemda Sarolangun yang sudah sangat gigih dalam melaksanakan Program BPJS Kesehatan. Hal ini terbukti sudah lebih dari 52 % masyarakatnya menjadi peserta BPJS. Semoga tahun ini seluruh masyarakat Sarolangun bisa menjadi peserta BPJS Kesehatan,” tegasnya.